Powered By Blogger

Jumat, 16 September 2011

Kalimat Pengusir Maksiat

Seorang Ulama terkemuka, Imam Sahl bin Abdullah Al-Tastari menuturkan kisah dirinya, 'Ketika berumur 3 (tiga) tahun, aku ikut pamanku yaitu Muhammad bin Sanwar untuk melakukan qiyamullail.Aku melihat cara shalat pamanku dan aku menirukan gerakannya.

Suatu hari, paman berkata kepadaku, 'Apakah kau mengingat ALLAH, yang menciptakanmu?'

Aku menukas, 'Bagaimana caranya aku mengingatnya?'

Beliau menjawab, 'Anakku, jika kau berganti pakaian dan ketika hendak tidur, katakanlah tiga kali dalam hatimu, tanpa menggerakkan lisanmu, "ALLAHU MA'I...ALLAHU NAADHIRI...ALLAHU SYAAHIDI..!' (artinya, ALLAH bersamaku, ALLAH melihatku, ALLAH menyaksikan aku").

Aku menghafalkan kalimat itu, lalu mengucapkannya bermalam-malam. Kemudian, aku menceritakan hal ini kepada paman.

Pamanku berkata, 'Mulai sekarang, ucapkan zikir itu sepuluh kali setiap malam'.

Aku melakukannya, aku resapi maknanya, dan aku merasakan ada kenikmatan dalam hatiku. Pikiran terasa terang.Aku merasa senantiasa bersama ALLAH SWT.

Satu tahun setelah itu, paman berkata, 'Jagalah apa yang aku ajarkan kepadamu, dan langgengkanlah sampai kau masuk kubur. Zikir itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat'.

Lalu, pamanku berkata, 'Hai Sahl, orang yang merasa selalu disertai ALLAH, dilihat ALLAH, dan disaksikan ALLAH, akankah dia melakukan maksiat?'.

Kalimat ALLAHU MA'I, ALLAHU NAADHIRI, ALLAHU SYAAHIDI sangat terkenal di kalangan ulama arif billah. Bahkan, Syeikh Al-Azhar; Imam Abdul Halim Mahmud, yang dikenal sebagai ulama yang arif billah menganjurkan kepada kaum Muslimin untuk menancapkan kalimat ini di dalam hati. Maknanya yang dahsyat, jika dihayati dengan sungguh2, akan mendatangkan rasa ma'iyatullah (selalu merasa disertai, dilihat, dan disaksikan oleh ALLAH SWT, di mana dan kapan saja).

Pada akhirnya, rasa ini akan menumbuhkan takwa yang tinggi kepada ALLAH SWT. Kalau sudah begitu, apakah orang yang merasa selalu disertai, dilihat dan disaksikan ALLAH akan melakukan maksiat?

Gadis Cerdas Gadis Impian

Ada seorang pemuda Arab yang tampan, shalih, dan sangat cerdas. Dia ingin menikah dengan seorang gadis shalihah dan cerdas seperti dirinya. Maka, mulailah dia mengembara dari satu kabilah ke kabilah lain, untuk mencari gadis impiannya.

Suatu ketika, dia berjalan menuju kabilah di Yaman. Di tengah perjalanan, di berjumpa dengan seorang lelaki. Akhirnya, dia berjalan bersama lelaki itu.
Pemuda itu menyapa,“Hai Tuan, apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?” Spontan lelaki itu menjawab,“Hai bodoh, kau ini bagaiman? Aku menunggang kuda dan kau menunggang kuda. Bagaimana kita bisa saling membawa?” Pemuda itu diam saja mendengar jawaban lelaki itu. Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan. Lalu, mereka melewati sebuah kampung. Kampung itu yang dikelilingi oleh kebun yang sudah tiba masa panennya. Pemuda itu bertanya,“Menurutmu, buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya, atau belum, ya?” Seketika, lelaki itu menjawab,“Pertanyaan itu aneh sekali! Kamu sendiri melihat dengan mata kepalamu, buah-buahan itu masih ada di pohonnya dan belum dipanen, kok kamu bertanya, apakah buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?”

Pemuda itu hanya diam dan tidak menjawab perkataan lelaki itu.

Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan. Baru sebentar berjalan, mereka bertemu dengan orang-orang yang sedang mengiring jenazah.

Pemuda itu berkata,“Menurutmu, yang diiring dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati, ya?”

Lelaki itu menjawab,“Aku semakin tidak paham denganmu. Aku tidak pernah menemukan pemuda yang lebih bodoh darimu. Ya, jelas! Jenazah itu akan dibawa untuk dikuburkan. Tentu dia sudah mati.”

Pemuda itu kembali diam dan tidak menjawab sepatah kata pun atas komentar lelaki itu. Akhirnya, keduanya sampai di rumah lelaki itu. Dia mengajak pemuda itu menginap di rumahnya. Dia merasa kasihan, sebab pemuda itu terlihat sudah sangat letih.

Lelaki itu memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik.

Begitu tahu ada seorang tamu menginap, anak gadisnya itu bertanya,”Ayah, siapa dia?”

“Dia itu pemuda paling bodoh yang pernah aku temukan,” jawab ayahnya.

Anak gadis itu malah penasaran. Dia mengejar dengan pertanyaan berikutnya,”Bodoh bagaimana?”
Ayahnya langsung menceritkan awal pertemuannya dengan pemuda itu dan segala perkataan serta pertanyaannya.

Mendengar cerita ayahnya, anak gadis itu berkata,”Ayah ini bagaimana? Dia itu tidak bodoh. Justru dia sangat cerdas dan pandai. Kata-katanya mengandung makna yang tersirat. Ketika dia mengatakan ‘Apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?’, sebenarnya maksudnya adalah,‘Apakah kita bisa saling berbincang-bincang sehingga bisa membawa suasana yang lebih akrab?’ Ketika dia mengatakan,“Buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?’ Ia memaksudkan,‘Apakah pemiliknya sudah menjualnya, pemiliknya tentu menerima uangnya dan membelanjakannya untuk makan dia dan keluarganya. Kemudian, ketika dia bertanya,‘Apakah jenazah di dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati?‘ Maksudnya,‘Apakah jenazah itu memiliki anak yang bisa melanjutkan perjuangannya atau tidak?’

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya, lelaki itu keluar dan menemui pemuda itu. Dia meminta maaf atas perkataannya yang membodoh-bodohkan pemuda itu. keduanya lalu berbincang-bincang.
Lelaki itu berkata,”Sekarang aku baru tahu apa maksud pertanyaan-pertanyaanmu dalan perjalan tadi.”
Lalu, dia menjelaskan seperti yang di katakan putrinya.
Mendengar itu sang pemuda bertanya,“Saya yakin itu bukan lahir dari pikiranmu sendiri dan bukan perkataanmu, demi Allah, katakanlah padaku siapa yang mengatakannya?”

“Yang mengatakan hal itu adalah putriku,” jawab lelaki itu.

Spontan pemuda itu berkata,“Apakah kau mau menikahkan aku dengan putrimu?”

“Ya”

Begitulah, setelah melalui pengembaraan panjang, akhirnya pemuda itu menemukan pendamping hidup yang dia impikan.

Pemberian Allah Jaun Lebih Baik

Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima tahun. Pada suatu sore, Anisa

menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket.

Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi… Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan.

Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.

Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki berenda yang cantik. Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.

“Ibu, bolehkah Anisa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi… ” Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp 25,000.

Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas.Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidakkonsisten…

“Oke … Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu,Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?”

Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.

“Terimakasih…,Ibu” Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.

Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau…

Setiap malam sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya :

“Anisa…, Anisa sayang Enggak sama Ayah ?”

“Tentu dong… Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah!”


“Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu…


“Yah…, jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil “si-Ratu” boneka kuda dari nenek… ! Itu kesayanganku juga

“Ya sudahlah sayang,… ngga apa-apa !”. Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar Anisa. Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi, “Anisa…, Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?”

“Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah!”.

“Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu.”

“Jangan Ayah… Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini..”Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya…

“Ada apa Anisa,kenapa Anisa ?”

Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangan-nya.

Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya ” Kalau Ayah mau…ambillah kalung Anisa” Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih…sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa…

“Anisa… ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya,tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau”

Ya…, ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.

***

Demikian pula halnya dengan Tuhan. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa :

“Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila
harus kehilangan.”

Cepat atau lambat,,apa yang ada pada diri kita pun akan selalu berganti,,kiranya Tuhan selalu mengingatkan kita bahwa semua milik-Nya,,tentu akan kembali kepada-Nya…

Untuk itulah perlunya sikap ikhlas,karena kita yakin tidak akan Tuhan mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik,,di dunia atau di akherat kelak,,

Sumber : http://lovelytobeamuslimah.blogspot.com/

Cinta

Bruk! Untuk ke sekian kali, kepala ustadz muda itu terbentur. Kali ini kepalanya membentur kusen pintu masjid saat ia hendak keluar seusai menunaikan shalat ashar berjamaah. Saat itu, setelah shalat, ia memang agak buru-buru karena harus segera menemui seseorang untuk kepentingan dakwah.

‘Peristiwa biasa' yang saya saksikan dari jarak kira-kira lima meter itu, entah mengapa, membuat hati saya trenyuh. Saya pun menangis dalam hati. Tidak lain karena ustadz muda yang saya ceritakan kali ini adalah seorang yang buta. Namun, kondisinya yang buta itu tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk senantiasa menunaikan shalat berjamaah di masjid lima kali sehari. Hal itu sudah bertahun-tahun ia jalani, terutama sejak ia mengalami kebutaan permanen sekitar tiga­empat tahun lalu. Saya pun teringat Sahabat Nabi saw. Abdullah bin Ummi Maktum yang juga buta. Ia pun senantiasa shalat berjamaah di masjid karena memang Nabi saw. tidak memperkenankan dirinya shalat di rumah selama ia mendengar azan di masjid.

Sebetulnya, bukan pemandangan itu benar yang membuat hati saya trenyuh. Bukan pula semata-mata karena ustadz muda yang baru beberapa bulan lalu saya kenal itu matanya buta yang membuat saya menangis dalam hati. Lagi pula saya tidak sedang menangisi dia. Sebab, toh dari kata-kata dan sikapnya selama ini, saya tahu ia pun tidak pernah menampakkan kesedihan dan meratapi diri karena kondisinya yang buta itu. Padahal sudah tak terhitung kepalanya terbentur tembok, terantuk batu, terpeleset, terserempet kendaraan di jalanan, bahkan terperosok ke selokan. Itu sudah sering ia alami. Namun, ia selalu menyikapi semua itu dengan kesabaran, bahkan senyuman. Yang membuat saya takjub, semua penderitaan itu justru sering ia alami dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Berceramah ke berbagai tempat, mengisi ta'lim. melakukan kontak-­kontak dakwah, dll. Sering semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki sendirian, tanpa teman yang membantu menuntun dirinya. Semua itu ia lakukan dengan selalu bersemangat, tak kenal lelah, meski ia harus sering-sering meninggalkan anak-istrinya.

Selain berceramah atau mengisi ta'lim, ia mengaku menyisihkan waktu minimal dua jam setiap hari untuk melakukan kontak-kontak dakwah. Itu pun sudah lama ia lakukan. Inilah yang sebetulnya membuat hati ini menangis. Saya menangis karena dalam kondisi tubuh saya yang sempurna, tidak kekurangan apapun, saya tampaknya belum bisa menyamai apalagi melebihi apa yang sehari-hari dilakukan sang ustadz itu. Jangankan menyisihkan waktu dua jam sehari untuk khusus melakukan kontak-­kontak dakwah, bahkan untuk sekadar istlqamah shalat berjamaah lima waktu di masjid pun sulit, terutama zuhur dan ashar, karena boleh jadi masih di perjalanan. di tempat kerjaan ataupun karena hal lain.

Saat saya bertanya, mengapa dalam kondisi semacam itu ia selalu bersemangat berdakwah dan sepertinya tak pernah kenal lelah, ia hanya menjawab dengan satu kata, "Cinta." "Maksudnya?" tanya saya lagi.
"Ana melakukan semua ini karena Ana mencintai Islam, mencintai dakwah ini dan mencintai saudara sesama Muslim, terutama mereka yang belum tersentuh hidayah Islam," jawabnya tegas.

"Kalau bukan karena cinta, Tadz," lanjutnya kepada saya, "Ana, juga Antum, tak mungkin kan harus capek-capek berdakwah, apalagi dengan kondisi Ana yang cacat seperti ini." Cukup rasanya kata-katanya itu menyentakkan kembali kesadaran saya. Saya pun teringat kembali dengan kisah Sahabat Rasululullah saw. yang mulia, Mushab bin Umair ra. Sebelum masuk Islam Mushab ra. adalah seorang pemuda yang biasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Ia memang berasal dari keluarga kaya-raya di Makkah. Semua itu didukung oleh sosoknya yang memang tegap dan tampan. Pernah orangtuanya membelikan sehelai pakaian seharga 200 dirham. Jika dikonversikan dengan harga sekarang, itu setara dengan Rp 14.075.800,- (Empat betas juta tujuh puluh lima ribu delapan ratus rupiah)! (Catatan: 1 dirham = 2.975 gr perak murni = Rp 70.379,-. Sumber: Geraidinar.com. 19/5/2011, pk. 06.30).

Mushab bin Umair ra. kemudian masuk Islam diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya. Saat kedua orangtuanya mengetahui keislamannya, mereka mengurung dan mengikat dirinya di rumah agar tidak bisa kemana-mana. Namun akhirnya, ia bisa melarikan diri ke Abesinia, tentu dengan meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan hidup yang selama ini ia reguk. Tak lama kemudian ia kembali ke Makkah. Ia lalu diutus oleh Baginda Rasulullah saw. ke Madinah sebagai duta dakwah Islam. Atas perannyalah sebagian pemuka Arab Madinah diislamkan. Bahkan akhirnya mereka mau menyerahkan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. hingga beliau sukses mendirikan Daulah Islam di Madinah.

Suatu saat, ketika Baginda Rasulullah saw. duduk-duduk, lewatlah ke hadapan beliau Mushab ra. dengan pakaian yang sudah kumal dan bertambal-tambal. Rasul saw. tampak bersedih dan berlinang airmata menyaksikan pemandangan itu. Sebab, beliau tahu persis bagaimana keadaan Mushab ra. yang hidup serba gemerlap sebelum masuk Islam. Kini, ia meninggalkan semua kemewahan itu karena satu hal: cinta. Begitu besar cintanya pada Islam, dakwah dan kepada sesama Muslim. Demi cinta itu Pula ia rela mengorbankan apa saja. Bahkan karena cinta pula ia rela terbunuh di medan perang dengan cara yang amat mengiris hati.

Saat itu dalam Perang Uhud, saat tentara Islam mengalami kekalahan, dan sebagian dari mereka lari tunggang-langgang, Mushab ra. tetap berdiri dengan gagah di medang perang sambil memegang Bendera Islam. Tiba-tiba musuh menebas salah satu tangannya hingga putus. Bendera itu pun terjatuh. Cepat-cepat ia meraih kembali bendera itu dengan tangannya yang lain. Musuh itu kembali menebas tangannya yang tersisa itu hingga putus. Buru­-buru pula ia mendekap bendera itu di dadanya dengan kedua lengannya yang masih berlumuran darah. Namun, sebuah anak panah tiba-tiba menghujam dadanya hingga akhirnya ia tersungkur ke tanah, dan bendera itu pun terjatuh. Akhirnya. ia pun gugur sebagai syuhada.

Saat jenazahnya hendak dikuburkan, ia hanya memiliki selembar kain yang terlalu kecil. Jika kain itu ditarik untuk menutupi wajahnya. kakinya terbuka. Sebaliknya. jika kain itu ditarik untuk menutupi kakinya, wajahnya yang terbuka (Al-Kandahlawi, Fadha'il A'mal. 626-­627).

Begitulah Mushab bin Umair ra. Begitulah sosok Para pecinta Islam, dakwah dan kaum Muslim. Bagaimana dengan kita?!

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah wa 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.

Sumber : Let's Learn About Islam